O believers, take not doubled and redoubled riba, and fear God so that you may prosper. Fear the fire which has been prepared for those who reject faith, and obey God and the Prophet so that you may receive mercy. (3:130-2).
Friday, June 22, 2007
Apakah bunga bank termasuk riba
beserta Jawabannya dari Ust. Cecep:
Apakah bunga bank termasuk riba?
Sebuah realita menunjukan bahwa semakin tinggi interest rate suatu mata uang semakin tinggi pula tingkat inflasinya, dan suatu negara yang mempunyai inflasi yang tinggi berarti ekonominya dalam keadaan collaps. Dan begitu sebaliknya semakin rendah interest ratenya semakin rendah pula nilai inflasinya dan semakin bagus pula neraca ekonominya.
Artinya bahwa sistem interest tidak pernah menghasilkan sebuah solusi karena tidak ada sistem interest yang berada pada posisi nol kecuali yang benar-benar melepaskan sistem interest tersebut secara total dan menggantinya dengan sistem sharing.
Para ulama sepakat bahwa riba adalah haram hukumnya, hal itu berdasarkan al Quran, hadits, ijma (aklamasi ulama), tinjauan ekonomi, tinjauan sosial dan tinjauan psikologis.
Riba ada dua jenis (secara global): riba fadhl (tambahan) dan riba nasaai (disebut pula riba jahiliy). Riba fadhl adalah melakukan barter sebuah komoditi yang sama dengan melebihkan salah satu komoditinya, hal ini hanya berlaku pada enam jenis komoditi saja yaitu emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelalai dengan jelalai, kurma dengan kurma dan garam dengan garam (sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit). Adapun riba Nasaai adalah pinjaman uang dengan tambahan uang yang ditentukan dari nilai nominal pinjaman atau jumlah tertentu untuk waktu tertentu, dan apabila waktunya tiba sedangkan ia belum bisa membayarnya maka si kreditor harus membayar kembali jumlah tambahan yang ditentukan di muka tadi untuk waktu tertentu lagi, dan begitulah seterusnya.
Para ulama secara ijma (aklamasi) sepakat bahwa kedua jenis tersebut haram hukumnya, barang siapa mengingkarinya maka ia disebut kafir (menolak hukum Allah) dan pelakunya berhak untuk diperangi sebagaimana musuh Allah lainnya.
Yang jadi pertanyaan, apakah bunga bank termasuk riba?
Mayoritas ulama mengatakan bahwa bunga bank adalah riba dan hukumnya haram. Dan sebagian yang lain mengatakan bahwa bunga bank adalah bukan riba, maka hukumnyapun tidak haram.
Mayoritas ulama berargumentasi bahwa bunga bank tidak berbeda dengan riba hanya dalam bentuk dan tekhnis operasionalnya saja (dalil-dalilnya sama dengan apa yang diungkapkan oleh MUI).
Adapun sebagian ulama yang mengatakan bahwa bunga bank bukan merupakan riba berargumentasi dengan dalil-dalil secara globalnya sebagai berikut:
1. bahwa bunga bank sifatnya fluktuatif dan ditentukan berdasarkan keuntungan yang diperoleh secara standar dari neraca ekonomi sebuah negara. Jadi bunga bank adalah sama dengan keuntungan dari sebuah perusahaan yang membagikan keuntungan yang diperolehnya.
Pendapat tersebut jelas sekali tidak sesuai dengan realitanya, karena bunga bank ditentukan bukan berdasarkan keuntungan standar yang dihasilkan oleh ekonomi negara tapi ditentukan oleh banyak faktor, salah satunya adalah tingkat inflasi, cadangan devisa negara, strategi ekonomi, pertumbuhan ekonomi suatu negara dan lainnya.
2. bahwa bank adalah sebuah lembaga investasi yang mana mereka menginvestasikan dana nasabahnya dalam bentuk-bentuk investasi yang menguntungkan. Jadi fungsi bank dalam hal ini adalah sebagai mudharib (pengelola dana untuk di investasikan) dan bukan sebagai broker atau mediator yang meminjamkan lagi dana nasabahnya kepada pihak ketiga dengan sistem bunga. Bila fungsi bank sebagai mudharib/ patner of share maka hal itu dibolehkan dalam fiqh Islam.
Melihat realita, fungsi bank lebih dominan kepada mediator untuk meminjam kembali uang nasabahnya kepada pihak ketiga dengan rate bunganya lebih tinggi dibandingkan yang diberikan kepada nasabahnya.
Adapun ulama lain mengatakan bahwa bunga bank adalah haram tapi karena madharat maka hal itu dibolehkan. Pendapat ini untuk 20 tahun yang lalu mungkin bisa diterima tapi untuk kondisi sekarang, dimana bank-bank syariah sudah menjamur dimana-mana bahkan bank-konvensionalpun sudah mulai membuka cabang syariahnya (dual system).
Dari uraian singkat di atas. Jelaslah bahwa bunga bank dalam berbagai bentuknya baik rekening biasa, rekening berjangka, rekening deposito dan instrument-instrument lainnya yang menggunakan bunga adalah haram.
Dalam hal ini, saya sependapat dengan fatwa MUI.
Apa hukum investasi dalam saham atau reksadana dalam pandangan fiqh islam?
Saham (share/ stock) adalah sertifikat bukti kepemilikan modal pada suatu perusahaan atau lembaga keuangan.
Saham mempunyai bentuk dan jenis yang beraneka ragam. Tergantung dari sudut mana pembagiannya.
Secara umum bahwa investasi dalam bentuk saham adalah boleh dengan alasan sebagai berikut:
- saham adalah mengikutsertakan modal tanpa ikut andil dalam pengelolaannya. Maka bentuk tersebut sama dengan mudharabah yaitu menyerahkan modal pada mudharib (pengelola) untuk diinvestasikan pada proyek yang menguntungkan dengan sistem pembagian keuntungan yang ditentukan melalui presentasi dari keuntungan.
- Investasi dalam bentuk saham it dibolehkan dengan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Perusahaan pemilik saham tidak melakukan aktivitas yang diharamkan oleh syariat seperti melakukan transaksi komoditi yang diharamkan oleh syariat seperti komoditi arak, komoditi daging babi dan anjing dan lainnya.
b. Perusahaan tersebut tidak menggunakan sistem interest rate, apabila ia terlibat dalam bisnis yang menggunakan interest rate system, maka saham perusahaaan tersebut menjadi haram.
Walaupun secara global investasi dalam saham dibolehkan dengan syarat-syarat tadi tapi ada beberapa bentuk saham yang tidak dibolehkan seperti saham istimewa dan saham pembukaan yang mana nilai jualnya lebih murah dari nilai nominal yang tertulis di dalam sertifikat sahamnya.
Saham istimewa (Preference shares) diharamkan apabila memenuhi hal-hal berikut:
- Apabila pemiliknya mempunyai hak istimewa dalam mendapatkan keuntungan dengan jumlah tertentu dan sebelum pembagian keuntungan pada pemilik saham lainnya. Hal tersebut diharamkan karena menghilangkan keadilan yang seharusnya dinikmati oleh semua pemilik saham.
- Apabila pemiliknya mempunya hak istimewa ketika pembubaran perusahaan, sehingga dia mendapatkan prioritas dalam mendapatkan pengembalian sebelum pemilik lainnya.
- Apabila pemilik hak pilih yang lebih dibanding pemilik lainnya dalam musyawarah umum pemegang saham
- Apabila pemiliknya mendapatkan keuntungan tahunan tetap (fixed interest rate), baik perusahaan itu rugi ataupun untung karena hal itu tidak jauh beda dengan sistem bunga.
Adapun saham pembukaan yang menjual saham dengan harga dibawah harga nominal yang tertulis dalam sertifikat saham adalah haram karena cara tersebut merugikan pemilik saham lainnya yang harus membayar saham dengan nilai nominal yang sama seperti yang tertulis dalam sertifikat saham
Reksa dana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan kembali dalam portopolio efek oleh manajer investasi.
Investasi dalam reksa dana tidak jauh berbeda dengan investasi dalam bentuk saham, hanya yang membedakannya adalah bahwa investasi dalam saham adalah mengikutsertakan modal pada perusahaan secara langsung dengan hak dan kewajibannya sebagai pemilik saham. Adapun investasi dalam bentuk reksa dana adalah menyerahkan modal pada sebuah lembaga atau perusahaan reksa dana yang kemudian perusahaan tersebut akan menginvestasikan dana pemodal tersebut pada lapangan yang sekiranya bisa menguntungkan.
Investasi dalam reksa dana menjadi halal apabila perusahaan reksa dana tersebut menginvestasikan dana tadi dalam investasi yang halal dan tidak berinteraksi dalam sistem bunga.
Obligasi (bond) adalah surat utang yang dikeluarkan oleh perusahaan atau pemerintah dengan bunga tertentu yang ditetapkan untuk waktu tertentu.
Investasi dalam obligas adalah haram hukumnya karena menggunakan sistem bunga.
Apa hukum transaksi financial derivative dalam pandangan fiqh islam?
Derivatives adalah alat finansial yang tidak mempunyai nilai dasar, tapi nilainya berasal dari yang lain. Mereka membendung resiko kepemilikan sesuatu yang menjadi subyek dari fluktuasi harga yang tak terduga sebagai contoh mata uang asing, gandum, saham dan bond pemerintah.
Ada dua jenis: futures, yaitu kontrak untuk penyerahan transaksi di masa datang dengan harga yang telah ditetapkan sebelumnya. Dan options, yaitu memberikan suatu pihak kesempatan untuk membeli dari atau menjual pada pihak lain dengan harga yang telah ditetapkan sebelumnya.
Apa hukum forward contract (future) dalam pandangan fiqh islam?
Forward market yaitu pasar dengan kontrak (atau yang dikenal dengan future) yang menyebut penyerahan barang atau surat berharga pada tanggal tertentu dan pada harga yang tetap.
Sebenarnya, forward market dengan definisi seperti di atas tidak ada masalah dalam fiqh islam selama tidak menggunakan unsur bunga ataupun unsur penipuan karena hal itu termasuk bagian dari perjanjian. Tapi yang menjadi masalah adalah ketika perjanjian untuk penyerahan dan dengan harga yang ditetapkan itu dijadikan lahan spekulasi dan lahan jual-beli. Maka dalam kondisi ini, transaksi tersebut menjadi tidak boleh lagi karena mengandung unsur-unsur yang diharamkan oleh syariat, yaitu:
- Menjual barang yang tidak ada dan belum dimiliki yaitu perjanjian itu sendiri karena dalam kontrak tersebut belum ada barang yang bisa diperjual belikan dan belum menjadi miliknya karena baru sebatas perjanjian. Maka hukumnya dalam hal ini adalah tidak boleh.
- Menjual barang yang tidak dengan spekulasi, artinya karena fluktualisasi harga dan inflasi ekonomi dunia yang tidak jelas, maka forward market dijadikan sebagai ajang spekulasi untuk meraup keuntuntan, padahal barang tersebut belum jelas.
- Biasanya untuk mendapatkan forward contrak itu ada fee (interest) yang dikenakan pada pembelinya, adapun ratenya ditentukan tergantung fluktualisasi ekonomi dunia atau negaranya atau barangnya atau mata uangnya.
Berdasarkan pertimbangan tadi, jelaslah bahwa forward transaksi dalam bentuk tadi adalah mengandung tiga unsur yang diharamkan oleh syariat.
Adapun forward rate, yaitu menentukan kurs mata uang asing dengan harga tetap untuk dibayarkan di masa yang akan datang adalah tidak boleh, karena hal itu mengandung riba fadhl sebagaimana disebutkan dalam hadits enam jenis komodidti yang tidak boleh melakukan barter dalam jenis tersebut kecual dengan matsalan bi mitslin dan yaddan bi yaddin. (jumlah yang sama dan dalam waktu yang berbarengan). Adapun alasan kedua transaksi tersebut menjadi haram karena dalam penentuan harga tetap itu menggunakan sistem bunga juga yang disebut dengan fee for forward contrak.
Tidak jauh beda dengan forward transaction dalam bursa efek. Transaksi tersebut mengandung unsur spekulasi dan syarat harus membayar kompensasi bila transaksi forward itu dibatalkan atau harus bayar bunga tertentu bila transaksi itu diundurkan lagi. Bahkan banyak sekali pialang yang melakukan transaksi forward transaksi dengan pembeli padahal dia sendiri belum memiliki saham atau obligasi yang akan dijualnya.
Jadi jelas, bahwa forward transaction dalam busrsa efekpun menyalahi aturan syariat, seharusnya kita meninggalkannya dan menggantinya dengan sistem syariat yang sekarang ini sudah mulai semarak.
Adapun tentang option, yaitu perjanjian yang memberikan hak opsi (pilihan) kepada pembeli opsi (dengan fee tertentu) untuk merealisasikan kontrak jual beli valuta asing atau saham atau obligasi yang tidak diikuti dengan pergerakan dana dan dilakukan pada atau sebelum waktu yang ditentukan dalam kontrak, dengan kurs atau harga yang terjadi pada saat reaslisasi tersebut. Biasanya option mempunyai dua jenis, yaitu put option (hak untuk membeli) dan call option (hak untuk menjual).
Transaksi option mengandung tiga unsur yang diharamkan syariat. Pertama adalah adanya bunga yang ditentukan untuk mendapatkan option tersebut, kedua jual beli yang tidak dimiliki dan tidak ada dan ketiga adalah jual beli gharar (spekulasi). Dengan ketiga unsur tadi, jelaslah bahwa transaksi dengan menggunakan sistem option adalah bertentang dengan hukum islam dan tidak dibolehkan melakukannya.
Untuk itu, syariat islam telah memberikan beberapa alternatif untuk menggantikannya, yaitu transaksi dengan menggunakan bentuk salam, bentuk al bae li ajal (jual beli yang pembayarannya ditangguhkan) dan murabahah. Semuanya dengan syarat dan kondisi yang sudah diatur oleh para ulama.
Apa hukum transaksi swaps dalam pandangan fiqh islam?
Swap adalah mempertukarkan atau barter suatu sekuritas dengan sekuritas lain. Barter bisa dilakukan untuk mengubah jatuh tempo obligasi portopolio atau mutu emisi suatu portopolio saham atau obligasi, atau karena tujuan suatu investasi sudah berubah.
Transaksi swap tidak pernah lepas dari sistem bunga, adapun besar dan kecilnya tergantung pada kualitas portopolionya, baik dalam bentuk saham ataupun obligasi.
Berdasarkan hal tadi, jelaslah bahwa swap adalah transaksi yang bergantung pada suku bunga. Maka hukumnnyapun adalah haram.
Wallahu a’lam bishawab.
Wassalam,
-Cecep-
Monday, June 11, 2007
ECONOMICS OF TAWARRUQ : How its Mafasid overwhelm the Masalih* (1)
TAWARRUQ
Tawarruq is the mode through which some Islamic Financial Institutions (IFI) are facilitating the supply of cash to their clients. The client-- the mutawarriq--buys X on deferred payment from the IFI and sells X for a cash amount less than the deferred price to a third party. Also tawarruq enables IFI to guarantee a predetermined percentage rate of return to its term-depositor, buying XX from him/her on deferred payment then selling XX for cash, the deferred payment being larger than the cash price.
Every tawarruq transaction creates a debt. Furthermore, the debt a tawarruq transaction creates is invariably larger than the cash it transfers to the client---the mutawarriq, in the first case, and to the IFI in the second case (mediated in both cases by another transaction). In what follows, we trace the macroeconomic consequences of both: creation of new debts and the fact that the debt is larger than the cash received. But before doing so, let us examine the potentials of the new creation: the paper resulting from tawarruq. As it currently stands, both in the conventional and in the Islamic financial markets, debt documents, like those resulting from tawarruq, are subject to repeat financial and speculative transactions. At their limit, these transactions sever all links with the real assets with which they could have been associated with at the start (assuming the cash so acquired result in the production of wealth). This process leads to an inverted pyramid of financial instruments with a small asset base. The process also moves the transaction of tawarruq from that of the asset market to the money (debt) market, where the underlying signaling and equilibrating mechanisms no longer are linked to the real market.
ROLE OF DEBT IN THE ECONOMY
Mere debt creation does not increase the net wealth of society as every addition to social wealth through it is cancelled by deduction of a similar amount of wealth owed. Meanwhile the cash acquired through a debt can be put to uses that may or may not result in actual wealth creation. If wealth is in fact created, it may be equal to, larger than or less than the cash input. The economic consequences will be different in each case. If the additional wealth so created is larger than the cash invested, then society stands to gain in view of the net increase in social wealth after the debt is repaid. If the additional wealth is equal to the cash invested and, therefore, to the resources used, there is no net gain, as the social wealth remains what it was,
after the debt is repaid. In case the cash invested results in wealth creation but by an amount less than the cash invested and the resources used, society is poorer to the extent of the loss, as the borrower must repay the debt by compensating for the loss out of existing wealth owned or acquired by him/her. The same applies to cases in which invested cash is totally lost, no wealth creation having taken place. In both cases a redistribution of wealth in favor of the creditors is involved.
I am grateful for the insightful inputs from Professor Mohammad Anas Zarqa and Dr. Abbas Mirakhor. 1 As a method of creating additional or new wealth, debt creation (or debt finance) is inefficient as well as inequitable. It is inefficient as the finance so provided goes not for the most promising projects for wealth production but to the most credit-worthy borrower. It is inequitable as it redistributes wealth in favor of suppliers of finance, irrespective of actual productivity of the finance supplied. Since both these points are well argued in Islamic economic literature, I will not repeat them in this paper.1 One important point to note, to exchange money now for more money later is fundamentally unfair due to the uncertainty that accompanies the passage of time. Money needs to be converted into goods and services before it can enter into the process of production, the source of possible additional value creation. The results of such process of production have to be reconverted into money before money can be paid back to the one who gave it in the first instance.
THE MARKET FOR DEBTS
Debt instruments can easily change hands. The economic consequences of this fact are independent of the terms on which debts change hands. These terms have their own consequences. The key aspect of this equation is what happens to a debt instrument between the time it is created and the time it is extinguished on repayment. Owners of debt instruments can benefit from these instruments in a number of ways. Financial innovations are providing them with newer and novel ways all the time. Debt instruments are substitutes for other forms of wealth, e.g. as securities can bring in some payment over and above their repayment. Insofar as they are substitutes for cash (generally but not necessarily at a discount) they can be
characterized as near money. These uses of debt instruments create a demand for them that increases as the economy grows and the market expands. With ever-increasing supply and demand, we have a market for debt instruments. Like in every market, speculation plays a role in debt markets too.2
* A position paper to be presented at the Workshop on Tawarruq: A Methodological issue in Shar`a-Compliant Finance
RIBA IN FIQH

1. The Four Schools
-
This paper examines the impact of tawarruq on the economy. It demonstrates through macroeconomic analysis that the harmful consequences of ...