O believers, take not doubled and redoubled riba, and fear God so that you may prosper. Fear the fire which has been prepared for those who reject faith, and obey God and the Prophet so that you may receive mercy. (3:130-2).
Friday, June 22, 2007
Apakah bunga bank termasuk riba
beserta Jawabannya dari Ust. Cecep:
Apakah bunga bank termasuk riba?
Sebuah realita menunjukan bahwa semakin tinggi interest rate suatu mata uang semakin tinggi pula tingkat inflasinya, dan suatu negara yang mempunyai inflasi yang tinggi berarti ekonominya dalam keadaan collaps. Dan begitu sebaliknya semakin rendah interest ratenya semakin rendah pula nilai inflasinya dan semakin bagus pula neraca ekonominya.
Artinya bahwa sistem interest tidak pernah menghasilkan sebuah solusi karena tidak ada sistem interest yang berada pada posisi nol kecuali yang benar-benar melepaskan sistem interest tersebut secara total dan menggantinya dengan sistem sharing.
Para ulama sepakat bahwa riba adalah haram hukumnya, hal itu berdasarkan al Quran, hadits, ijma (aklamasi ulama), tinjauan ekonomi, tinjauan sosial dan tinjauan psikologis.
Riba ada dua jenis (secara global): riba fadhl (tambahan) dan riba nasaai (disebut pula riba jahiliy). Riba fadhl adalah melakukan barter sebuah komoditi yang sama dengan melebihkan salah satu komoditinya, hal ini hanya berlaku pada enam jenis komoditi saja yaitu emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelalai dengan jelalai, kurma dengan kurma dan garam dengan garam (sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit). Adapun riba Nasaai adalah pinjaman uang dengan tambahan uang yang ditentukan dari nilai nominal pinjaman atau jumlah tertentu untuk waktu tertentu, dan apabila waktunya tiba sedangkan ia belum bisa membayarnya maka si kreditor harus membayar kembali jumlah tambahan yang ditentukan di muka tadi untuk waktu tertentu lagi, dan begitulah seterusnya.
Para ulama secara ijma (aklamasi) sepakat bahwa kedua jenis tersebut haram hukumnya, barang siapa mengingkarinya maka ia disebut kafir (menolak hukum Allah) dan pelakunya berhak untuk diperangi sebagaimana musuh Allah lainnya.
Yang jadi pertanyaan, apakah bunga bank termasuk riba?
Mayoritas ulama mengatakan bahwa bunga bank adalah riba dan hukumnya haram. Dan sebagian yang lain mengatakan bahwa bunga bank adalah bukan riba, maka hukumnyapun tidak haram.
Mayoritas ulama berargumentasi bahwa bunga bank tidak berbeda dengan riba hanya dalam bentuk dan tekhnis operasionalnya saja (dalil-dalilnya sama dengan apa yang diungkapkan oleh MUI).
Adapun sebagian ulama yang mengatakan bahwa bunga bank bukan merupakan riba berargumentasi dengan dalil-dalil secara globalnya sebagai berikut:
1. bahwa bunga bank sifatnya fluktuatif dan ditentukan berdasarkan keuntungan yang diperoleh secara standar dari neraca ekonomi sebuah negara. Jadi bunga bank adalah sama dengan keuntungan dari sebuah perusahaan yang membagikan keuntungan yang diperolehnya.
Pendapat tersebut jelas sekali tidak sesuai dengan realitanya, karena bunga bank ditentukan bukan berdasarkan keuntungan standar yang dihasilkan oleh ekonomi negara tapi ditentukan oleh banyak faktor, salah satunya adalah tingkat inflasi, cadangan devisa negara, strategi ekonomi, pertumbuhan ekonomi suatu negara dan lainnya.
2. bahwa bank adalah sebuah lembaga investasi yang mana mereka menginvestasikan dana nasabahnya dalam bentuk-bentuk investasi yang menguntungkan. Jadi fungsi bank dalam hal ini adalah sebagai mudharib (pengelola dana untuk di investasikan) dan bukan sebagai broker atau mediator yang meminjamkan lagi dana nasabahnya kepada pihak ketiga dengan sistem bunga. Bila fungsi bank sebagai mudharib/ patner of share maka hal itu dibolehkan dalam fiqh Islam.
Melihat realita, fungsi bank lebih dominan kepada mediator untuk meminjam kembali uang nasabahnya kepada pihak ketiga dengan rate bunganya lebih tinggi dibandingkan yang diberikan kepada nasabahnya.
Adapun ulama lain mengatakan bahwa bunga bank adalah haram tapi karena madharat maka hal itu dibolehkan. Pendapat ini untuk 20 tahun yang lalu mungkin bisa diterima tapi untuk kondisi sekarang, dimana bank-bank syariah sudah menjamur dimana-mana bahkan bank-konvensionalpun sudah mulai membuka cabang syariahnya (dual system).
Dari uraian singkat di atas. Jelaslah bahwa bunga bank dalam berbagai bentuknya baik rekening biasa, rekening berjangka, rekening deposito dan instrument-instrument lainnya yang menggunakan bunga adalah haram.
Dalam hal ini, saya sependapat dengan fatwa MUI.
Apa hukum investasi dalam saham atau reksadana dalam pandangan fiqh islam?
Saham (share/ stock) adalah sertifikat bukti kepemilikan modal pada suatu perusahaan atau lembaga keuangan.
Saham mempunyai bentuk dan jenis yang beraneka ragam. Tergantung dari sudut mana pembagiannya.
Secara umum bahwa investasi dalam bentuk saham adalah boleh dengan alasan sebagai berikut:
- saham adalah mengikutsertakan modal tanpa ikut andil dalam pengelolaannya. Maka bentuk tersebut sama dengan mudharabah yaitu menyerahkan modal pada mudharib (pengelola) untuk diinvestasikan pada proyek yang menguntungkan dengan sistem pembagian keuntungan yang ditentukan melalui presentasi dari keuntungan.
- Investasi dalam bentuk saham it dibolehkan dengan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Perusahaan pemilik saham tidak melakukan aktivitas yang diharamkan oleh syariat seperti melakukan transaksi komoditi yang diharamkan oleh syariat seperti komoditi arak, komoditi daging babi dan anjing dan lainnya.
b. Perusahaan tersebut tidak menggunakan sistem interest rate, apabila ia terlibat dalam bisnis yang menggunakan interest rate system, maka saham perusahaaan tersebut menjadi haram.
Walaupun secara global investasi dalam saham dibolehkan dengan syarat-syarat tadi tapi ada beberapa bentuk saham yang tidak dibolehkan seperti saham istimewa dan saham pembukaan yang mana nilai jualnya lebih murah dari nilai nominal yang tertulis di dalam sertifikat sahamnya.
Saham istimewa (Preference shares) diharamkan apabila memenuhi hal-hal berikut:
- Apabila pemiliknya mempunyai hak istimewa dalam mendapatkan keuntungan dengan jumlah tertentu dan sebelum pembagian keuntungan pada pemilik saham lainnya. Hal tersebut diharamkan karena menghilangkan keadilan yang seharusnya dinikmati oleh semua pemilik saham.
- Apabila pemiliknya mempunya hak istimewa ketika pembubaran perusahaan, sehingga dia mendapatkan prioritas dalam mendapatkan pengembalian sebelum pemilik lainnya.
- Apabila pemilik hak pilih yang lebih dibanding pemilik lainnya dalam musyawarah umum pemegang saham
- Apabila pemiliknya mendapatkan keuntungan tahunan tetap (fixed interest rate), baik perusahaan itu rugi ataupun untung karena hal itu tidak jauh beda dengan sistem bunga.
Adapun saham pembukaan yang menjual saham dengan harga dibawah harga nominal yang tertulis dalam sertifikat saham adalah haram karena cara tersebut merugikan pemilik saham lainnya yang harus membayar saham dengan nilai nominal yang sama seperti yang tertulis dalam sertifikat saham
Reksa dana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan kembali dalam portopolio efek oleh manajer investasi.
Investasi dalam reksa dana tidak jauh berbeda dengan investasi dalam bentuk saham, hanya yang membedakannya adalah bahwa investasi dalam saham adalah mengikutsertakan modal pada perusahaan secara langsung dengan hak dan kewajibannya sebagai pemilik saham. Adapun investasi dalam bentuk reksa dana adalah menyerahkan modal pada sebuah lembaga atau perusahaan reksa dana yang kemudian perusahaan tersebut akan menginvestasikan dana pemodal tersebut pada lapangan yang sekiranya bisa menguntungkan.
Investasi dalam reksa dana menjadi halal apabila perusahaan reksa dana tersebut menginvestasikan dana tadi dalam investasi yang halal dan tidak berinteraksi dalam sistem bunga.
Obligasi (bond) adalah surat utang yang dikeluarkan oleh perusahaan atau pemerintah dengan bunga tertentu yang ditetapkan untuk waktu tertentu.
Investasi dalam obligas adalah haram hukumnya karena menggunakan sistem bunga.
Apa hukum transaksi financial derivative dalam pandangan fiqh islam?
Derivatives adalah alat finansial yang tidak mempunyai nilai dasar, tapi nilainya berasal dari yang lain. Mereka membendung resiko kepemilikan sesuatu yang menjadi subyek dari fluktuasi harga yang tak terduga sebagai contoh mata uang asing, gandum, saham dan bond pemerintah.
Ada dua jenis: futures, yaitu kontrak untuk penyerahan transaksi di masa datang dengan harga yang telah ditetapkan sebelumnya. Dan options, yaitu memberikan suatu pihak kesempatan untuk membeli dari atau menjual pada pihak lain dengan harga yang telah ditetapkan sebelumnya.
Apa hukum forward contract (future) dalam pandangan fiqh islam?
Forward market yaitu pasar dengan kontrak (atau yang dikenal dengan future) yang menyebut penyerahan barang atau surat berharga pada tanggal tertentu dan pada harga yang tetap.
Sebenarnya, forward market dengan definisi seperti di atas tidak ada masalah dalam fiqh islam selama tidak menggunakan unsur bunga ataupun unsur penipuan karena hal itu termasuk bagian dari perjanjian. Tapi yang menjadi masalah adalah ketika perjanjian untuk penyerahan dan dengan harga yang ditetapkan itu dijadikan lahan spekulasi dan lahan jual-beli. Maka dalam kondisi ini, transaksi tersebut menjadi tidak boleh lagi karena mengandung unsur-unsur yang diharamkan oleh syariat, yaitu:
- Menjual barang yang tidak ada dan belum dimiliki yaitu perjanjian itu sendiri karena dalam kontrak tersebut belum ada barang yang bisa diperjual belikan dan belum menjadi miliknya karena baru sebatas perjanjian. Maka hukumnya dalam hal ini adalah tidak boleh.
- Menjual barang yang tidak dengan spekulasi, artinya karena fluktualisasi harga dan inflasi ekonomi dunia yang tidak jelas, maka forward market dijadikan sebagai ajang spekulasi untuk meraup keuntuntan, padahal barang tersebut belum jelas.
- Biasanya untuk mendapatkan forward contrak itu ada fee (interest) yang dikenakan pada pembelinya, adapun ratenya ditentukan tergantung fluktualisasi ekonomi dunia atau negaranya atau barangnya atau mata uangnya.
Berdasarkan pertimbangan tadi, jelaslah bahwa forward transaksi dalam bentuk tadi adalah mengandung tiga unsur yang diharamkan oleh syariat.
Adapun forward rate, yaitu menentukan kurs mata uang asing dengan harga tetap untuk dibayarkan di masa yang akan datang adalah tidak boleh, karena hal itu mengandung riba fadhl sebagaimana disebutkan dalam hadits enam jenis komodidti yang tidak boleh melakukan barter dalam jenis tersebut kecual dengan matsalan bi mitslin dan yaddan bi yaddin. (jumlah yang sama dan dalam waktu yang berbarengan). Adapun alasan kedua transaksi tersebut menjadi haram karena dalam penentuan harga tetap itu menggunakan sistem bunga juga yang disebut dengan fee for forward contrak.
Tidak jauh beda dengan forward transaction dalam bursa efek. Transaksi tersebut mengandung unsur spekulasi dan syarat harus membayar kompensasi bila transaksi forward itu dibatalkan atau harus bayar bunga tertentu bila transaksi itu diundurkan lagi. Bahkan banyak sekali pialang yang melakukan transaksi forward transaksi dengan pembeli padahal dia sendiri belum memiliki saham atau obligasi yang akan dijualnya.
Jadi jelas, bahwa forward transaction dalam busrsa efekpun menyalahi aturan syariat, seharusnya kita meninggalkannya dan menggantinya dengan sistem syariat yang sekarang ini sudah mulai semarak.
Adapun tentang option, yaitu perjanjian yang memberikan hak opsi (pilihan) kepada pembeli opsi (dengan fee tertentu) untuk merealisasikan kontrak jual beli valuta asing atau saham atau obligasi yang tidak diikuti dengan pergerakan dana dan dilakukan pada atau sebelum waktu yang ditentukan dalam kontrak, dengan kurs atau harga yang terjadi pada saat reaslisasi tersebut. Biasanya option mempunyai dua jenis, yaitu put option (hak untuk membeli) dan call option (hak untuk menjual).
Transaksi option mengandung tiga unsur yang diharamkan syariat. Pertama adalah adanya bunga yang ditentukan untuk mendapatkan option tersebut, kedua jual beli yang tidak dimiliki dan tidak ada dan ketiga adalah jual beli gharar (spekulasi). Dengan ketiga unsur tadi, jelaslah bahwa transaksi dengan menggunakan sistem option adalah bertentang dengan hukum islam dan tidak dibolehkan melakukannya.
Untuk itu, syariat islam telah memberikan beberapa alternatif untuk menggantikannya, yaitu transaksi dengan menggunakan bentuk salam, bentuk al bae li ajal (jual beli yang pembayarannya ditangguhkan) dan murabahah. Semuanya dengan syarat dan kondisi yang sudah diatur oleh para ulama.
Apa hukum transaksi swaps dalam pandangan fiqh islam?
Swap adalah mempertukarkan atau barter suatu sekuritas dengan sekuritas lain. Barter bisa dilakukan untuk mengubah jatuh tempo obligasi portopolio atau mutu emisi suatu portopolio saham atau obligasi, atau karena tujuan suatu investasi sudah berubah.
Transaksi swap tidak pernah lepas dari sistem bunga, adapun besar dan kecilnya tergantung pada kualitas portopolionya, baik dalam bentuk saham ataupun obligasi.
Berdasarkan hal tadi, jelaslah bahwa swap adalah transaksi yang bergantung pada suku bunga. Maka hukumnnyapun adalah haram.
Wallahu a’lam bishawab.
Wassalam,
-Cecep-
Wednesday, June 20, 2007
ECONOMICS OF TAWARRUQ : How its Mafasid overwhelm the Masalih
Renting an Item to Who Sold It Is It Different from Bay' Al-Wafa' Contract?
Bay' al-wafa' is a contract whereby the owner of an estate (house or land) sells it, with a condition that he will have it back once he returns its price to the buyer (See Articles 118 and 396-403 of Majallat al-Ahkam al-Adliyah). In other words, he who needs cash sells is estate in cash, with the condition that whenever he returns the cash to the buyer, the latter returns to him his estate. Thus, it is a sale contract with an attached condition of abrogation, the seller returns the cash and the buyer returns the estate.
This sale contract has various other names with the Fuqaha' who dealt with it, such as bay' al-'uhdah (custody sale) because both parties pledge to return the substitute or the alternative after a specific period or because the buyer guarantees the item; bay' al-idah or bay' al-wa'd (promise sale) because the sale happens as a result of a binding promise instead of a condition; bay' al-amanah (trust sale) because the item sold is entrusted with the buyer; bay' al-nass (people's sale) because people used it frequently and became used to it; al-bay' al-jaa'iz (allowed sale) because some fuqaha' have legitimized it to the point that there is no other contract being legitimized as such and al-bay' al-mu'ad (the retuned sale) because there is a sale and a repurchase. It seems that this kind of sale is as old as the Fifth Century after Hijra.
The people of hiyal (stratagems) have artificially made it a controversial contract: Is it allowed or is it forbidden? Is it a sale or a rahn (mortgage, collateral) for those who allowed it? The reality is that it does not bear any controversy; it is simply a usurious stratagem, i.e. a usurious loan in a form of a sale. There is an amount that is advanced and then returned and the financier benefits from the estate during the period of the loan, either by usage or exploitation. This means that the benefits derived from it are either living in a house, or planting a land. The estate may even be rented out to a third party or to the seller, and the financier benefits from the rent in return for his finance.
This transaction of sale and leaseback is similar to Bay' al-wafa' contract or bay' al-istighlal which can be considered as a form of Bay' al-wafa' contract, allowed by some fuqaha', as mentioned earlier, but not by Majma' al-Fiqh al-Islami in Jeddah in 1412AH (1992). Without doubt, the people of stratagems were hoping that it would be allowed. Now, they are trying to allow it under another name. One form of stratagems is to call things with other names that are not relevant, in order to make them acceptable to the public.
Bay' al-Istighlal (the exploitation sale) is to sell an estate with a promise condition, whereby the seller leases out his estate and whenever he pays back the price, he gets back his estate (See article 119 of Majallat al-Ahkam al-Adliyah). It is called Bay' al-Istighlal (exploitation sale) because the buyer exploits the estate sold. In other words, he benefits from its rent by way of renting it to the seller. Thus, Bay' al-Istighlal is a form of bay' al-wafa', whereby the estate is leased to the seller. Bay' al-wafa' is itself a form of bay' al-eenah, which is not allowed by the hadith (Musnad Ahmad 2:42, Sunan Abi Dawud 3:274, Nayl al-Awtar 5:233) because the main feature of bay' al-eenah is that the merchandise returns back to the seller. In al-eenah contract, there are two sales in one: one with a spot specific price and the other with a deferred higher price. For example, someone sells an item for SR1000 and buy it back cash for SR900, which means he borrowed SR900 to be repaid SR1000. Thus, the riba in bay' al-eenah is the difference between the two prices. As for bay' al-wafa', riba will arise in the use of the estate involved or its exploitation, as explained above. Riba can arise in a sale or a loan by raising the price for the borrower or by reducing it for the lender, just as riba can arise from a loan for a loan. Imam Ibn Batta reported on the authority of Al-Awza'i that the prophet (pbuh) said: "There will come a time on people where they allow riba contract under sale contract" (Ibn Taymiyyah, 3:130 and Ibn al-Qayyim, 3:178).
The reader might wonder why the contemporary concern in bay' al-wafa', when it is an old sale. The reality is that although it is old, there are many attempts to revive such old contracts, which are no more than stratagems for riba. On 23rd and 24th Shawwal 1424AH (17th and 18th December 2003) a fiqhi seminar was organized in Riyadh where a paper by Nazih Hammad was presented under the title: "Renting the estate to who sold it" as well as four comments. The first was of Siddiq al-Dharir, the second was that of Mughammad Taqi Othmani, the third was by Hussein Hamid Hassan and the fourth by Abdus-Sattar Abu Ghuddah.
Nazih Hammad mentioned in his paper that the earlier scholars disagreed on the legitimacy of renting an estate to who sold it. The majority of scholars do not allow it, in opposition to Malikis and Ibn Taimiyyah from Al-Hanabilah. This is not right Renting an Item to Who Sold It, Is It Different from Bay' Al-Wafa' Contract? because what the Malikis and Ibn Taymiyah allowed is: "I sell you my house for such an amount provided that you sell me your animal for such an amount". Two different items are involved here but in our case, we are talking about one item that returns back to the seller. It goes on cash sale and come back on installment or on Ijarah muntahiya bittamlik. This is similar to the prohibited bay' al-eenah. So, it is not true as Nazih Hammad claims that the allowance of this contract applies to the case under discussion. Siddiq al-Dharir agreed with him but based his argument on the principle of natural permissibility of things, even concerning compound contracts which are made up of more than one contract, each of which may be permitted on its own but not allowed when put together in one contract, such as sale and loan in one contract.
With this, Dharir contradicted his saying, in his book Al-Gharar (1967, p.98): "I believe that the approach of the Islamic jurisprudence realizes the stability of transactions, by emphasizing the principle of not allowing the multiplicity of contracts in one and making it a basic rule". The basic rule for him, then, was the prohibition of multiple contracts in one transaction.
Both Osmani and Abu Ghuddah confirmed in their comments on Hammad that many Shari'ah councils believe that al-eenah disappears with time: a year, in which market changes occur (price changes). This is hard to digest! Where does this year come from? Besides, market changes can happen anytime.
Hammad discussed the renting ending with ownership of the estate to who sold it and allowed it on the basis of the restrictions of Majma' al-fiqh al-Islami 2000. But by booking at these restrictions, especially number one and two, I believe that they are theoretical restrictions that cannot be realized in practice. The actual realization of these restrictions means it would no longer be an ijarah muntahiyah bi-al-tamleek (renting leading to ownership). This is what can also be taken against the comment of Hussein Hamed Hassan. It seems to me that this kind of approach in issuing fatwa is like holding the stick in the middle. If it passes, the mufti would say: did I not tell you? But if it does not, he would claim that the conditions were not met.
What is important is that renting the estate to who sold it is a stratagem in order to get around the prohibition of bay' al-wafa' (promise sale) by Majma' al-fiqh al-Islami, giving it a different new name among the many new names given to this contract, which can also be considered as a form of bay' al-eenah. Branches of Islamic banks and windows of conventional banks should avoid and refrain from the use of such compound contracts which lead to sale and loan or mutual loans or eenah or tawarruq (especially if it is in a form of eenah but under the name of tawarruq) or similar contracts such as bay' al-wafa' (promise sale) or bay' al-istighlal (exploitation sale) or any of the old and well-known riba based stratagems.
I had made it clear earlier and warned against such practices in a verbal intervention in the first seminar of Dallah Al-Barakah held in Madinah in 1403AH. Al-eenah and tawarruq are compound contracts. If the rule concerning the 'simple single contract' is the permissibility, the rule concerning the compound contracts (multiple contract in one) is the prohibition. This is based on the hadith of the Prophet (pbuh) which prohibits two sale contracts in one and two transactions in one. The promise, if not binding and was jointed to a contract, this does not make the contract a compound one. However, if it is binding, then it becomes a condition that leads to the compounding of the contract. It is well known that a condition changes the ruling. For instance, a non-conditional riba is allowed but a conditional riba is not, and if someone lends someone an amount without
condition and later borrowed from him, this is allowed but if he lends him on the condition that the latter lends back, this is not permissible.
It is important to note that the secular laws which allowed "the promise sale" cancelled it later when they allowed lending at interest because there was no longer any need for it. This is another proof that the promise sale and similar contracts are but means and excuses to justify riba loan, hidden under the guise of sale. The way out of this "promise sale" is that the seller sells definitely his estate in cash without any condition attached to it and when he has the means to buy it back at the market price he can do so.
I wonder about the fiqhi mentality that propagates the prohibition of riba and yet goes on allowing it at higher rates, under various pretexts and stratagems. This is like closing the "white" door and opening tens of "black" windows, to the point where the ijtihad of contemporary fuqaha', if we can call it ijtihad, focuses on no other than the inherited old stratagems. It seems that the whole of fiqh has been reduced to mere stratagems. Without doubts such stratagems make the banking operations more costly, complex and ambiguous. Ayub al-Sukhtiani commented by saying: "had they faced it, i.e. came to it through its door, it would have been much more easier" (Bayan al-daleel fi Butlan al-tahleel, p.374). Ibn Taimiyah says: "The clear cut riba is more beneficial to them than these stratagems. The legislator is wise and merciful, He does not prohibit what is beneficial and allows what is less beneficial, He does not prohibit what is harmful and allows what is even more harmful. If he has prohibited such transactions, then his prohibition of these transactions (stratagems) is even stricter". If it happened that he has allowed it, then the permission of clear riba would have been more acceptable" (ibid). Ibn al-Qayyim says: "Our Sheikh (Ibn Taimiyah) used to prohibit the issue of tawarruq. He was asked many times to review his decision, while I was in his presence, but he never did and he said: "the reason why riba was prohibited exists in it with the extra cost of buying a commodity and selling it at loss. Shari'ah does not prohibit a lower harm (riba) and allows what is more harmful (al-tawarruq)" (I'lam al-Muwaqqi'een, 3:182).
RAFIC YUNUS AL-MASRI
Islamic Economics Research Centre
King Abdulaziz University
Jeddah, Saudi Arabia
Abu Dawud (n.d.) Sunan, Dar Ihya' Al-Sunnah Al-Nabawiyah, Cairo.
Ahmad, Al-Imam (1398) Musnad, Al-Maktab Al-Islami, Beirut.
Al-Dharir, Siddiq (1386) Al-Gharar Wa Atharuhu fi'l Uqud, n.p., Cairo.
Hammad, Nazih (1424) Ijarat Al-Ain Liman Ba'aha, paper presented to the Al-Rajhi Fiqh Seminar, 23rd and 24th Shawwal 1424AH, Riyadh,
Ibn Al-Qayyim (1374) I'lam al-Muwaqqi'een, Al-Maktabah Al-Tijariyah Al-Kubra, Cairo.
Ibn Taimiyah (1416) Bayan al-Tadleel fi Butlan al-Tahleel, Maktabat Leena, amanhoor, Egypt.
Ibn Taimiyah (n.d.) Al-Fatawa, Dar Al-Ma'rifa, Beirut.
Majallat al-Ahkam al-Adliyah (1349), Sharh Al-Atasi, n.p. Hims (Syria).
Majma' Al-Fiqh Al-Islami, Al-Majallah, Issue 7, vol. 3, Jeddah.
Al-Shawkani (n.d.) Nayl Al-Awtar, Maktabat Al-Babi Al-Halabi, Cairo.
Monday, June 11, 2007
ECONOMICS OF TAWARRUQ : How its Mafasid overwhelm the Masalih* (1)
TAWARRUQ
Tawarruq is the mode through which some Islamic Financial Institutions (IFI) are facilitating the supply of cash to their clients. The client-- the mutawarriq--buys X on deferred payment from the IFI and sells X for a cash amount less than the deferred price to a third party. Also tawarruq enables IFI to guarantee a predetermined percentage rate of return to its term-depositor, buying XX from him/her on deferred payment then selling XX for cash, the deferred payment being larger than the cash price.
Every tawarruq transaction creates a debt. Furthermore, the debt a tawarruq transaction creates is invariably larger than the cash it transfers to the client---the mutawarriq, in the first case, and to the IFI in the second case (mediated in both cases by another transaction). In what follows, we trace the macroeconomic consequences of both: creation of new debts and the fact that the debt is larger than the cash received. But before doing so, let us examine the potentials of the new creation: the paper resulting from tawarruq. As it currently stands, both in the conventional and in the Islamic financial markets, debt documents, like those resulting from tawarruq, are subject to repeat financial and speculative transactions. At their limit, these transactions sever all links with the real assets with which they could have been associated with at the start (assuming the cash so acquired result in the production of wealth). This process leads to an inverted pyramid of financial instruments with a small asset base. The process also moves the transaction of tawarruq from that of the asset market to the money (debt) market, where the underlying signaling and equilibrating mechanisms no longer are linked to the real market.
ROLE OF DEBT IN THE ECONOMY
Mere debt creation does not increase the net wealth of society as every addition to social wealth through it is cancelled by deduction of a similar amount of wealth owed. Meanwhile the cash acquired through a debt can be put to uses that may or may not result in actual wealth creation. If wealth is in fact created, it may be equal to, larger than or less than the cash input. The economic consequences will be different in each case. If the additional wealth so created is larger than the cash invested, then society stands to gain in view of the net increase in social wealth after the debt is repaid. If the additional wealth is equal to the cash invested and, therefore, to the resources used, there is no net gain, as the social wealth remains what it was,
after the debt is repaid. In case the cash invested results in wealth creation but by an amount less than the cash invested and the resources used, society is poorer to the extent of the loss, as the borrower must repay the debt by compensating for the loss out of existing wealth owned or acquired by him/her. The same applies to cases in which invested cash is totally lost, no wealth creation having taken place. In both cases a redistribution of wealth in favor of the creditors is involved.
I am grateful for the insightful inputs from Professor Mohammad Anas Zarqa and Dr. Abbas Mirakhor. 1 As a method of creating additional or new wealth, debt creation (or debt finance) is inefficient as well as inequitable. It is inefficient as the finance so provided goes not for the most promising projects for wealth production but to the most credit-worthy borrower. It is inequitable as it redistributes wealth in favor of suppliers of finance, irrespective of actual productivity of the finance supplied. Since both these points are well argued in Islamic economic literature, I will not repeat them in this paper.1 One important point to note, to exchange money now for more money later is fundamentally unfair due to the uncertainty that accompanies the passage of time. Money needs to be converted into goods and services before it can enter into the process of production, the source of possible additional value creation. The results of such process of production have to be reconverted into money before money can be paid back to the one who gave it in the first instance.
THE MARKET FOR DEBTS
Debt instruments can easily change hands. The economic consequences of this fact are independent of the terms on which debts change hands. These terms have their own consequences. The key aspect of this equation is what happens to a debt instrument between the time it is created and the time it is extinguished on repayment. Owners of debt instruments can benefit from these instruments in a number of ways. Financial innovations are providing them with newer and novel ways all the time. Debt instruments are substitutes for other forms of wealth, e.g. as securities can bring in some payment over and above their repayment. Insofar as they are substitutes for cash (generally but not necessarily at a discount) they can be
characterized as near money. These uses of debt instruments create a demand for them that increases as the economy grows and the market expands. With ever-increasing supply and demand, we have a market for debt instruments. Like in every market, speculation plays a role in debt markets too.2
* A position paper to be presented at the Workshop on Tawarruq: A Methodological issue in Shar`a-Compliant Finance
RIBA IN FIQH
1. The Four Schools
-
Pertanyaan dari mbak N, beserta Jawabannya dari Ust. Cecep: Apakah bunga bank termasuk riba? Sebuah realita menunjukan bahwa semakin tinggi ...
-
Dalam upaya mensosialisasikan Ekonomi Syariah dikalangan para Dai, Forum Silaturahim Studi Ekonomi islam (Fossei) regional jabodetabek menye...